Jumat, 18 Desember 2009

Senam Nifas

mansa SENAM NIFAS Umumnya, para ibu pasca melahirkan takut melakukan banyak gerakan. Sang ibu biasanya khawatir gerakan-gerakan yang dilakukannya akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. Padahal, apabila ibu bersalin melakukan ambulasi dini, itu bisa memperlancar terjadinya proses involusi uteri (kembalinya rahim ke bentuk semula). Salah satu aktivitas yang dianjurkan untuk dilakukan para ibu setelah persalinan adalah senam nifas. Senam ini dilakukan sejak hari pertama setelah melahirkan hingga hari kesepuluh. Dalam pelaksanannya, harus dilakukan secara bertahap, sistematis, dan kontinyu. Tujuan senam nifas ini di antaranya memperbaiki sirkulasi darah, memperbaiki sikap tubuh setelah hamil dan melahirkan, memperbaiki tonus otot pelvis, memperbaiki regangan otot abdomen/ perut setelah hamil, memperbaiki regangan otot tungkai bawah, dan meningkatkan kesadaran untuk melakukan relaksasi otot-otot dasar panggul. Program senam nifas dimulai dari tahap yang paling sederhana hingga yang sulit. Dimulai dengan mengulang tiap 5 gerakan. Setiap hari ditingkatkan sampai 10 kali. Adapun gerakan-gerakannya sebagai berikut: Hari pertama, ambil nafas dalam-dalam, perut dikembungkan, kemudian napas dikeluarkan melalui mulut. Ini dilakukan dalam posisi tidur terlentang. Hari kedua, tidur terlentang, kaki lurus, tangan direntangkan kemudian ditepukkan ke muka badan dengan sikap tangan lurus, dan kembali ke samping. Hari ketiga, berbaring dengan posisi tangan di samping badan, angkat lutut dan pantat kemudian diturunkan kembali. Hari keempat, tidur terlentang, lutut ditekuk, kepala diangkat sambil mengangkat pantat. Hari kelima, tidur terlentang, kaki lurus, bersama-sama dengan mengangkat kepala, tangan kanan, menjangkau lutut kiri yang ditekuk, diulang sebaliknya. Hari keenam, tidur terlentang, kaki lurus, kemudian lutut ditekuk ke arah perut 90o secara bergantian antara kaki kiri dan kaki kanan. Hari ketujuh, tidur terlentang kaki lurus kemudian kaki dibuka sambil diputar ke arah luar secara bergantian. Hari 8, 9, 10, tidur terlentang kaki lurus, kedua telapak tangan diletakkan di tengkuk kemudian bangun untuk duduk (sit up). Untuk dicatat, pekerjaan rumah yang ringan dikerjakan setelah minggu III dan yang agak berat setelah minggu IV. Selamat mencoba!  Senam Bayi Penulis: Ummu Luqman Siapa yang tidak senang melihat bayi yang sehat dan gembira. Gelak tawanya selalu menggoda kita untuk mengajaknya bercanda. Sambil bercanda anda dapat meluangkan waktu beberapa menit bersenam dengan si kecil. Senam untuk bayi tidak hanya membuat tubuh jadi sehat, tetapi juga membiasakan bayi untuk menggerakkan badan. Hal ini perlu dilakukan untuk menyiapkan perkembangan motorik bayi seperti merangkak, berjalan, dan sebagainya. Berikut ini ada beberapa macam gerakan yang dapat dilakukan oleh ibu dan bayinya yang berusia 4 hingga 7 bulan. 1. Menggantung. Baringkan bayi pada punggungnya, kemudian angkat kedua pergelangan kaki sehingga menggantung dengan kepala tetap berada dalam landasan. Gerakan ini berguna untuk menguatkan otot-otot tubuh dari tungkai. 2. Di atas bola. Letakkan bayi di atas bola yang cukup besar. Duduklah anda di belakangnya dengan memegang kedua pergelangan kaki bayi. Gantungkan sebuah mainan yang berwarna-warni di sisinya, sehingga perhatiannya akan tertarik pada mainan dan ia akan membalikkan tubuhnya untuk dapat melihat serta menjangkau benda tersebut. Gerakan ini akan menguatkan otot-otot tubuh. 3. Jongkok. Letakkan bayi dalam posisi jongkok. Pegang paha erat-erat dan tekan sedikit lututnya agar bayi mendorong tubuhnya ke atas. Gerakan ini berguna untuk melatih otot kaki dan tungkai. 4. Menopang. Letakkan bayi di atas bola, pegang kedua pergelangan kakinya erat-erat, kemudian gelindingkan bola secara perlahan-lahan sehingga bayi dengan sendirinya dapat menopang tubuhnya pada kedua lengannya di atas landasan. Gerakan ini untuk menguatkan otot punggung dan leher. 5. Istirahat. Beristirahatlah jika bayi merasa lelah. Dalam keadaan lelah bayi merasa senang bila jari-jari kakinya dimasukkan ke dalam mulutnya. Dengan cara ini ia akan lebih mengenal bagian tubuhnya sendiri. 6. Duduk. Baringkan bayi pada punggungnya. Duduklah anda di hadapannya sambil memegang kedua lengan bayi. Perlahan-lahan tarik kedua lengan tadi sehingga tubuhnya naik dan berada dalam posisi duduk. Gerakan ini baik sekali untuk menguatkan otot lengan dan tungkai. 7. Seperti burung. Baringkan bayi pada perutnya (tengkurap), duduklah anda di belakangnya dan tarik kedua lengan bayi ke belakang. Secara otomatis ia akan menekukkan kedua kaki dan mengangkat kepala dengan rasa bangga dan gembira. Gerakan ini dapat menguatkan otot punggung. 8. Mengangkat tubuh. Baringkan bayi, kemudian duduklah anda di hadapannya. Tekan perlahan-lahan lututnya ke depan sehingga merapat pada tubuh dan biarkan kedua lengannya bebas. Gerakan ini untuk menguatkan tungkai dan punggung. 9. Jadi kereta dorong. Telungkupkan bayi dan duduklah anda di belakangnya. Lengan kanan anda menyanggah dadanya, sedang lengan kiri memegang erat-erat kedua pergelangan kaki. Perlahan-lahan angkatlah perutnya sehingga bagian tubuhnya terangkat ke atas. Gerakan ini untuk menguatkan otot lengan, punggung dan tengkuk. 10. Terbang. Angkat bayi dengan tangan kiri anda sambil memegang kedua pergelangan kakinya, sementara tangan kanan menyangga dadanya. Biarkan bayi merasa sedang terbang untuk beberapa detik. Gerakan ini untuk memperkuat otot punggung. Selamat mencoba, semoga bermanfaat. SUAPAN PERTAMA UNTUK ANAKKU Ada banyak cara yang berkembang di masyarakat untuk menyambut datangnya bayi. Islam mengajarkan agar bayi yang baru lahir ditahnik, yaitu memberi kurma (atau makanan manis) yang sudah dilumatkan lebih dulu. Lahirnya seorang bayi merupakan awal dari kehidupannya di dunia. Dia mulai merasakan aktivitas hidup di dunia ini. Tentunya tak patut ayah dan ibu yang menginginkan buah hatinya menjadi anak yang shalih membiarkan hari-hari pertamanya berjalan tanpa dihiasi tuntunan syariat yang mulia ini, .bahkan dikotori oleh hal-hal yang tidak diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya Banyak hal dipandang oleh masyarakat sebagai adat untuk menyambut kelahiran seorang bayi. Ada yang memasang lentera di kuburan ari-ari (plasenta) bayi, ada yang memasang gunting atau senjata tajam lain di dekat kepala bayi, ada yang meletakkan rangkaian bawang dan cabai merah di atas kepala bayi, ada pula yang memasang gelang dari benang untuk penangkal bala’ bagi si bayi. Bahkan sebagian orang meyakini, kalau hal itu tidak dilakukan, maka keselamatan si jabang bayi pun terancam. Kalau sudah begini, dikhawatirkan kesyirikan akan masuk tanpa terhindarkan. Sebenarnya apa yang harus dilakukan pada . Melaluihari-hari pertama setelah kelahiran telah diajarkan oleh Allah kita bisa melihat dengan jelas penetapan syariat dalamperbuatan Rasulullah terhadap seorang bayihal ini. Kita simak, apa yang dilakukan oleh Rasulullah yang baru saja lahir, sebagaimana penuturan istri beliau, ‘Aisyah bintu Abi Bakr Ummul Mukminin x : Apabila didatangkan bayi yang baru lahir ke hadapan , maka beliau mendoakan barakah kepadanya dan mentahniknya.”Rasulullah (Shahih, HR Imam Bukhari no. 5468 dan Imam Muslim no. 2147) Tahnik adalah mengunyah kurma sampai lumat hingga bisa ditelan, kemudian menyuapkannya ke mulut bayi. Apabila tidak didapatkan kurma, maka diganti dengan makanan manis lain yang bisa digunakan untuk mentahnik. Para ulama bersepakat bahwa istihbab (disenangi) melakukan tahnik pada hari kelahiran seorang anak. Demikian dijelaskan oleh Imam an-Nawawi t ketika menerangkan tentang tahnik ini. ini bisa kita lihat dalam hadits AnasGambaran perbuatan Rasulullah bin Malik z : “Aku membawa ‘Abdullah bin Abi Thalhah al-Anshari kepada pada hari kelahirannya, dan waktu itu beliau mengenakan mantelnyaRasulullah sedang mengecat untanya dengan ter. Lalu beliau bertanya, “Apakah engkau membawa kurma?” Aku menjawab, “Ya.” Kemudian kuberikan pada beliau beberapa buah kurma, lalu beliau masukkan ke mulut dan mengunyahnya. Kemudian beliau membuka mulut bayi dan meludahkan kurma itu ke mulut bayi itu. Mulailah bayi itu menggerak-gerakkan lidahnya untuk merasakan kurma tersebut. Maka Rasulullah bersabda, “Kesukaan Anshar adalah kurma.” dan beliau memberinya nama ‘Abdullah. (Shahih, HR Imam Bukhari no. 5470 dan Imam Muslim no. 2144) Hadits Anas bin Malik di atas juga memberikan penjelasan kepada kita bahwa tahnik dilakukan dengan menggunakan kurma, dan ini yang disenangi. Apabila dilakukan dengan selain kurma, maka tahnik itu pun telah terlaksana, namun kurma lebih utama. Dari sini pula kita memetik faidah bahwa tahnik dilakukan oleh orang yang shalih, baik laki-laki ataupun perempuan. (Syarh Shahih Muslim) Begitu pula bisa kita simak kisah-kisah tentang pelaksanaan tahnik yang datang dari sahabat-sahabat yang lainnya. Abu Musa al-Asy’ari z menceritakan: Telah , kemudian beliaulahir anak laki-lakiku, lalu aku membawanya kepada Nabi memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan kurma. (Shahih, HR Imam Bukhari no. 5467 dan Imam Muslim no. 2145) Asma’ bintu Abi Bakr c mengisahkan ketika dia mengandung anaknya, ‘Abdullah ibnu az-Zubair di Mekkah : “Dia mengatakan: Aku keluar (untuk hijrah), sementara telah dekat waktuku melahirkan. Maka aku pergi ke Madinah dan aku singgah di Quba’, serta melahirkan di sana. , lalu beliau meletakkan anakku diKemudian aku mendatangi Rasulullah pangkuannya. Kemudian beliau meminta kurma, dan mengunyahnya lalu meludahkannya ke dalam mulut anakku. Maka yang pertama kali masuk ke perutnya adalah ludah . Beliau mentahniknya dengan kurma, kemudian mendoakannya danRasulullah memintakan barakah baginya. Dan dia adalah bayi pertama yang dilahirkan dalam Islam (dari kalangan Muhajirin). (Shahih,, HR Imam Bukhari no. 5469 dan Imam Muslim no. 2146) Kisah Asma’ x ini memberikan faidah kepada kita tentang disenanginya mendoakan bayi yang dilahirkan itu ketika tahnik. (Syarh Shahih Muslim) Tak luput dari perhatian kita, semua yang kita simak dari Anas bin Malik, Abu Musa al-Asy’ari serta Asma’ bintu Abi Bakr radhiallahu ‘anhum di atas menunjukkan bolehnya memberi nama anak pada hari kelahirannya. Ini pun diperkuat oleh penuturan sahabat yang mulia, Sahl bin Sa’d z : “Didatangkan al-Mundzir putra Abu Usaid ke meletakkannya di atas ketika dia dilahirkan. Maka Nabi hadapan Rasulullah pangkuannya, sedangkan Abu Usaid duduk. Pada waktu itu Rasulullah sedang sibuk sehingga Abu Usaid memerintahkan agar anaknya dibawa kembali, maka anak itu dan mereka pun mengembalikannya pada Abudiangkat dari pangkuan Rasulullah selesai dari kesibukannya, beliau bertanya, “Di manaUsaid. Ketika Rasulullah bayi tadi?” Abu Usaid pun menjawab, “Kami membawanya kembali, ya Rasulullah!” Lalu beliau bertanya, “Siapa namanya?” Jawab Abu Usaid, “Fulan, ya Rasulullah!” Beliau pun bersabda, “Tidak, akan tetapi namanya Al-Mundzir.” Kemudian pada hari itu beliau memberinya nama Al-Mundzir. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 2149) Inilah tuntunan syariat bagi setiap orang tua yang mengharap kebaikan bagi anaknya. Tak layak semua ini dilewatkan begitu saja, karena sebaik-baik petunjuk ..adalah petunjuk Rasulullah Wallahu ta’ala a’lam. Segenap Asa Dalam Sebuah Nama Memberikan nama yang baik adalah salah satu tugas orang tua bagi anaknya yang baru lahir. Ada aturan-aturan yang harus diikuti orang tua agar nama anak bisa memberikan kebaikan dan berkah bagi pemiliknya. Sosok mungil itu telah ada dalam dekapan hangat sang ibu. Tibalah saat dia mendengar sapaan sang ayah yang penuh kasih sayang, memanggilnya dengan nama yang diberikan baginya. Nama yang indah, disertai dengan harapan yang membuncah, semoga perjalanan hidup si buah hati kelak akan sebaik nama yang disandangnya. Barangkali jauh hari sebelum si kecil lahir ke dunia, tak kurang banyaknya nama yang dirancang oleh ayah dan ibu, dilatari oleh sekian banyak pertimbangan. Ada yang ingin menamai anaknya dengan nama tokoh yang dikagumi disertai harapan, anaknya akan sehebat tokoh itu. Ada yang membuat nama dari petikan suatu peristiwa penting untuk mengenang peristiwa itu. Ada pula yang sekedar mempertimbangkan faktor “keren dan enak didengar”. Si kecil tumpuan harapan, sudah semestinya ayah bunda memberikan nama yang terbaik bagi dirinya, nama yang dicintai oleh Rabb semesta alam. Tidak ada jalan lain untuk mendapatkannya, kecuali menelaah kembali, bagaimana Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menerangkan seputar seluk-beluk nama kepada kita. Pada hari pertama hadirnya buah hati di dunia, sang ayah boleh memberikan nama padanya. Kita bisa menyimak kisah pemberian nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada putranya, Ibrahim. “Semalam telah lahir anak laki-lakiku, maka aku beri nama dia dengan nama ayahku, Ibrahim.” (HR. Muslim no. 2315) Al Imam An Nawawi menjelaskan bahwa kisah ini menunjukkan bolehnya memberikan nama anak pada hari kelahirannya. (Syarh Shahih Muslim, 15/75) Juga kisah-kisah lainnya ketika para sahabat membawa anaknya yang baru lahir ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau memberikan nama pada hari itu juga. Kita lihat dalam kisah kelahiran ‘Abdullah bin Az Zubair z ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mentahniknya: “Kemudian beliau mengusapnya dan mendoakan kebaikan baginya, serta memberinya nama ‘Abdullah.” (HR. Muslim no. 2146) Demikian pula dalam kisah lahirnya ‘Abdullah bin Abi Thalhah z, ketika Anas bin Malik z membawanya ke hadapan beliau: “Kemudian beliau mentahniknya dan memberinya nama ‘Abdullah.” (HR. Muslim no.2144) Juga ketika Abu Usaid z membawa putranya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada hari kelahirannya: “Maka pada hari itu beliau memberinya nama AlMundzir.” (HR. Al Bukhari no. 6191 dan Muslim no. 2149) Begitu pula penuturan Abu Musa Al Asy’ari z: “Telah lahir anak laki-lakiku, lalu aku membawanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan kurma.” (HR. Muslim no. 2145) Namun di sisi lain, kita dengar penjelasan bahwa seorang anak diberi nama pada hari ketujuh, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui lisannya yang mulia: “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka pada hari ketujuh disembelih hewan, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud no. 2838) Untuk memahami dua sisi ini, kita buka penjelasan Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani t. Beliau mengatakan bahwa anak yang tak hendak diaqiqahi, maka pemberian namanya tidak ditangguhkan hingga hari ketujuh, sebagaimana yang terjadi dalam kisah Ibrahim bin Abi Musa, ‘Abdullah bin Abi Thalhah, demikian pula Ibrahim putra Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan ‘Abdullah bin Az-Zubair, karena tidak ada penukilan yang menyatakan bahwa salah seorang di antara mereka diaqiqahi. Sedangkan anak yang hendak diaqiqahi, maka pemberian namanya ditangguhkan hingga hari ketujuh sebagaimana yang ada dalam hadits-hadits lain. (Fathul Bari, 9/501) Pun ayah bunda tak lupa memilihkan nama terbaik bagi anaknya. Namun toh semua itu tetap tak lepas dari tinjauan syariat, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memberikan tuntunan. “Sesungguhnya nama yang paling dicintai oleh Allah adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.” (HR. Muslim no. 2132) Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini menunjukkan keutamaan kedua nama itu atas seluruh nama, demikian dijelaskan oleh Al Imam an-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 14/113 ). Ayah dan ibu pun bisa memilihkan nama dari deretan nama-nama para nabi. Bahkan demikian yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bagi putranya, dan demikian pula yang beliau berikan kepada anak-anak sahabatnya. Beliau berikan nama Ibrahim kepada anak Abu Musa Al Asy’ari, dan Yusuf kepada anak ‘Abdullah bin Salam, sebagaimana dikisahkan sendiri oleh Yusuf bin ‘Abdillah bin Salam: “Rasulullah memberiku nama Yusuf dan mendudukkan aku di pangkuan beliau serta mengusap kepalaku.” (HR Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Adabul Mufrad no. 282 bahwa isnadnya shahih) Tak layak dilalaikan, ada nama-nama yang haram disandang. Kita bisa melihat penjelasan Rasulullah mengenai hal ini. “Sesungguhnya nama yang paling hina di sisi Allah adalah seseorang yang bernama Malikul Amlak (raja dari seluruh raja).” Ibnu Abi Syaibah .” Al Asy’atsimenambahkan dalam riwayatnya: “Tidak ada raja kecuali Allah berkata bahwa Sufyan mengatakan:“Seperti Syahan Syah.” (HR. Al Bukhari no.6206 dan Muslim no. 2143) Kita simak ucapan Al Imam An Nawawi ketika menjelaskan hadits ini. Beliau mengatakan bahwa pemakaian nama ini haram, yang khusus bagi diri-Nya, seperti Aldemikian pula memakai nama-nama Allah Quddus (Yang Maha Suci), Al Muhaimin (Yang Maha Memelihara), Khaliqul Khalq (Pencipta seluruh makhluk), dan sebagainya. (Syarh Shahih Muslim, 14/122) Penamaan yang terlarang ini tidak hanya mencakup dalam lafadz bahasa Arab, namun lafadz dalam bahasa lain apabila maknanya demikian pun terlarang. Kita lihat dalam hadits di atas, Sufyan bin ‘Uyainah t memasukkan nama Syahan Syah – yang bukan berasal dari lafadz bahasa Arab namun bermakna serupa dengan Malikul Amlak – dalam larangan ini. Hal ini dijelaskan oleh Imam Al Mubarakfuri. Beliau menyatakan bahwa Sufyan bin ‘Uyainah memberikan peringatan bahwa nama yang tercela ini tidak terbatas pada Malikul Amlak saja. Akan tetapi, seluruh nama yang menunjukkan makna tersebut dengan bahasa apa pun termasuk dalam larangan ini. (Tuhfatul Ahwadzi, 8/102) Begitu pula nama-nama yang mengandung tazkiyah1 ataupun nama-nama yang buruk, sehingga didapati kisah-kisah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengganti nama-nama itu dengan nama yang lebih baik. Inilah penuturan ‘Abdullah bin ‘Umar, mengungkapkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Anak perempuan ‘Umar bin Al Khaththab bernama ‘Ashiyah (wanita yang suka bermaksiat), maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberinya nama Jamilah (wanita yang cantik).” (HR. Muslim no. 2139) Ibnul Atsir t mengatakan –dalam penjelasan beliau yang dinukil di dalam ‘Aunul Ma’bud– bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengganti nama ‘Ashiyah tersebut karena syi’ar seseorang yang beriman adalah taat kepada Allah, sementara kemaksiatan adalah lawan dari ketaatan. (‘Aunul Ma’bud, 13/201) Selain itu, ada pula putri Abu Salamah yang semula bernama Barrah (wanita yang suci) kemudian diganti oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan nama Zainab. Dia mengisahkan sendiri peristiwa ini: “Dulu aku bernama Barrah, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberiku nama Zainab.” (HR. Muslim no. 2142) Bahkan kedua istri beliau, Zainab bintu Jahsy dan Juwairiyah bintu Al Harits c, semula bernama Barrah, kemudian beliau mengganti nama mereka berdua. (HR .Muslim no. 2140 dan 2141) Al Imam An Nawawi t memberikan penjelasan bahwa hadits-hadits di atas mengandung makna penggantian nama yang jelek atau nama yang dibenci menjadi nama yang baik. Telah pasti pula adanya hadits-hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengganti nama banyak sahabat. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan pula bahwa alasan penggantian nama ini ada dua, yaitu karena mengandung tazkiyah (pensucian) atau dikhawatirkan terjatuh pada tathayyur2. (Syarh Shahih Muslim, 14/120-121) Kita lihat dalam kisah Ibnu ‘Umar z di atas, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mengganti nama putri ‘Umar bin Al Khaththab z menjadi Muthi’ah (wanita yang taat) – padahal lawan dari kata ‘Ashiyah adalah Muthi’ah – karena ditakutkan nama tersebut mengandung tazkiyah. (Áunul Ma’bud, 13/201) Ada satu hal yang perlu diketahui, dalam Islam disyariatkan memanggil seseorang dengan nama kunyah3 walaupun orang itu belum memiliki anak. Demikian pula yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada seorang anak kecil, seperti yang kita dengar dalam penuturan oleh Anas bin Malik z: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan aku mempunyai saudara laki-laki yang telah disapih bernama Abu ‘Umair. Apabila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam datang kemudian melihatnya, beliau biasanya mengatakan: ‘Wahai Abu ‘Umair! Apa yang dilakukan burung kecilmu?’ Dia biasa bermain-main dengan burung kecil itu.” (HR. Muslim no. 2150) Perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini menunjukkan bolehnya memberikan nama kunyah kepada seseorang yang belum memiliki anak atau kepada anak-anak, dan ini bukan termasuk dusta. Demikian dijelaskan oleh Al Imam An Nawawi ketika membicarakan hadits ini. (Syarh Shahih Muslim, 14/129) Manakala telah gamblang tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, apakah selayaknya seorang ayah atau seorang ibu –yang ingin mempersembahkan seluruh kebaikan bagi putra-putrinya yang mengemban segenap harapan mereka– akan melalaikan hal ini? Karena bagaimanapun, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab. Memuliakan Anak Perempuan Kelahiran anak laki-laki, hingga kini, dianggap sebagai pelanggeng garis keturunan keluarga. Tak sedikit pula yang menjadikannya penanda kehormatan. Sebaliknya, berbagai belitan kesedihan dan rasa malu menghantui pasangan yang ‘hanya’ dikaruniai anak perempuan. Padahal, dalam Islam, jika anak-anak perempuan itu dimuliakan yang terurai dalam sikap kasih sayang, memberikan pendidikan dan pengajaran agama yang baik, janji surga telah menantikannya. Perasaan kecil hati kadang menyelimuti pasangan yang belum juga dikaruniai anak laki-laki. Bahkan tak sedikit orang tua yang lebih mendambakan bayi yang hendak lahir ini laki-laki dibanding keinginan untuk mendapatkan anak perempuan. Demikianlah keadaan mayoritas manusia sebagaimana dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha: مَنِ ابْتُلِيَ مِنَ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ، فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ، كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ “Barangsiapa yang diberi cobaan dengan anak perempuan kemudian ia berbuat baik pada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 2629) Al-Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai ibtila’ (cobaan), karena biasanya orang tidak menyukai keberadaan anak perempuan. (Syarh Shahih Muslim, 16/178) Bahkan dulu pada masa jahiliyah, orang bisa merasa sangat terhina dengan lahirnya anak perempuan. Sehingga tergambarkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُوْنَ “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah wajahnya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memelihara anak itu dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah, betapa buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59) Sementara di dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengancam perbuatan mengubur anak-anak perempuan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: وَإِذَا الْمَوْءُوْدَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ “Dan ketika anak perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, atas dosa apakah dia dibunuh.” (At-Takwir: 8-9) Al-Mau`udah adalah anak perempuan yang dikubur hidup-hidup oleh orang-orang jahiliyah karena kebencian terhadap anak perempuan. Pada hari kiamat, dia akan ditanya atas dosa apa dia dibunuh, untuk mengancam orang yang membunuhnya. Apabila orang yang dizalimi ditanya (pada hari kiamat kelak, –pen.), maka bagaimana kiranya persangkaan orang yang berbuat zalim (tentang apa yang akan menimpanya, –pen.)? (Tafsir Ibnu Katsir, 8/260) Demikianlah Islam memuliakan anak perempuan. Selain dalam Al Qur’an, dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam didapati pula larangan yang jelas dari mengubur anak perempuan. Hadits ini disampaikan oleh Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ، وَمَنْعًا وَهَاتِ، وَوَأْدَ الْبَنَاتِ، وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian durhaka pada ibu, menolak untuk memberikan hak orang lain dan menuntut apa yang bukan haknya, serta mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dan Allah membenci bagi kalian banyak menukilkan perkataan, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta.” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593) Wa`dul banat adalah menguburkan anak perempuan hidup-hidup sehingga mereka mati di dalam tanah. Ini merupakan dosa besar yang membinasakan pelakunya, karena merupakan pembunuhan tanpa hak dan mengandung pemutusan hubungan kekerabatan. (Syarh Shahih Muslim, 12/11) Di sisi lain, dalam agama yang mulia ini ada anjuran agar orang tua yang dikaruniai anak perempuan memuliakan anaknya. Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menganugerahkan anak perempuan telah menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang berbuat kebaikan kepada anak perempuannya. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah mengatakan: جَاءَتْنِي مِسْكِيْنَةٌ تَحْمِلُ ابْنَتَيْنِ لَهَا فَأَطْعَمْتُهَا ثَلاَثَ تَمَرَاتٍ فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً وَرَفَعَتْ إِلَى فِيْهَا تَمْرَةً لِتَأْكُلَهَا فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا، فَشَقَّتِ التَّمْرَةَ الَّتِي كَانَتْ تُرِيْدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا، فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا فَذَكَرْتُ الَّذِي صَنَعَتْ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ وَأَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ Seorang wanita miskin datang kepadaku membawa dua anak perempuannya, maka aku memberinya tiga butir kurma. Kemudian dia memberi setiap anaknya masing-masing sebuah kurma dan satu buah lagi diangkat ke mulutnya untuk dimakan. Namun kedua anak itu meminta kurma tersebut, maka si ibu pun membagi dua kurma yang semula hendak dimakannya untuk kedua anaknya. Hal itu sangat menakjubkanku sehingga aku ceritakan apa yang diperbuat wanita itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan baginya surga dan membebaskannya dari neraka.” (HR. Muslim no. 2630) Dalam riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan kedekatannya dengan orang tua yang memelihara anak-anak perempuan mereka dengan baik kelak pada hari kiamat: مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ -وَضَمَّ أَصَابِعَهُ- “Barangsiapa yang mencukupi kebutuhan dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka dewasa, maka dia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan aku dan dia (seperti ini),” dan beliau mengumpulkan jari jemarinya. (HR. Muslim no. 2631) Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan, hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan seseorang yang berbuat baik kepada anak-anak perempuannya, memberikan nafkah, dan bersabar terhadap mereka dan dalam segala urusannya. (Syarh Shahih Muslim, 16/178) Masih berkenaan dengan keutamaan membesarkan dan mendidik anak perempuan, seorang shahabat, ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ، فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ، وَأَطْعَمَهُنَّ، وَسَقَاهُنَّ، وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ، كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ النَّارِ يَوْمَ القِيَامَةِ “Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan, lalu dia bersabar atas mereka, memberi mereka makan, minum, dan pakaian dari hartanya, maka mereka menjadi penghalang baginya dari api neraka kelak pada hari kiamat.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 56: “Shahih”) Tidak hanya itu saja, dalam berbagai riwayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menggarisbawahi hal ini. Jabir bin Abdillah rahimahullahu mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثَُ بَنَاتٍ، يُؤْوِيْهِنَّ، وَيَكْفِيْهِنَّ، وَيَرْحَمُهُنَّ، فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ الْبَتَّةَ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَعْضِ القَوْمِ: وَثِنْتَيْنِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: وَثِنْتَيْنِ “Barangsiapa yang memiliki tiga orang anak perempuan yang dia jaga, dia cukupi dan dia beri mereka kasih sayang, maka pasti baginya surga.” Seseorang pun bertanya, “Dua juga, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dan dua juga.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 58: “Hasan”) Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma juga meriwayatkan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُدْرِكُهُ ابْنَتَانِ، فَيُحْسِنُ صُحْبَتَهُمَّا، إِلاَّ أَدْخَلَتَاهُ الْجَنَّةَ “Tidaklah seorang muslim yang memiliki dua anak perempuan yang telah dewasa, lalu dia berbuat baik pada keduanya, kecuali mereka berdua akan memasukkannya ke dalam surga.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 57: “Hasan lighairihi”) Agama yang sempurna ini juga memberikan gambaran tentang pengungkapan sikap kasih sayang orang tua kepada anak perempuannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh bagi umat beliau melalui pergaulannya dengan putri beliau, Fathimah radhiyallahu ‘anha . Tentang ini, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkisah: مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ كَانَ أَشْبَهَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلاَمًا وَلاَ حَدِيْثًا وَلاَ جِلْسَةً مِنْ فَاطِمَةَ. قَالَتْ: وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا، ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا، ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ، وَكَانَ إِذَا أَتَاهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَّبَتْ بِهِ، ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam cara bicara maupun duduk daripada Fathimah.” ‘Aisyah berkata lagi, “Biasanya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Fathimah datang, beliau mengucapkan selamat datang padanya, lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian beliau menggamit tangannya hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Begitu pula apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang padanya, maka Fathimah mengucapkan selamat datang pada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggandeng tangannya, lalu menciumnya.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 725) Demikian pula yang dilakukan oleh sahabat beliau yang terbaik, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu . Diceritakan oleh Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu 'anhu: دَخَلْتُ مَعَ أَبِي بَكْرٍ عَلَى أَهْلِهِ، فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا حُمَّى، فَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ يُقَبِّلُ خَدَّهَا وَقَالَ: كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّةُ؟ “Aku pernah masuk bersama Abu Bakr menemui keluarganya. Ternyata ‘Aisyah putrinya sedang terbaring sakit panas. Aku pun melihat Abu Bakr mencium pipi putrinya sambil bertanya, ‘Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?” (HR. Al-Bukhari no. 3918) Dalam hal pemberian, Islam juga mengajarkan untuk memberikan bagian yang sama antara anak laki-laki dan perempuan. Hal ini berdasarkan hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhu: تَصَدَّقَ عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ. فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ: لاَ أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفَعَلْتَ هذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلاَدِكُمْ. فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ “Ayahku pernah memberiku sebagian hartanya, lalu ibuku, ‘Amrah bintu Rawahah, mengatakan padanya, “Aku tidak ridha hingga engkau minta persaksian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka ayahku pun menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta persaksian beliau. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya, “Apakah ini kau lakukan pada semua anakmu?” “Tidak,” jawab ayahku. Beliau pun bersabda, “Bertakwalah kepada Allah tentang urusan anak-anakmu.” Ayahku pun kembali dan mengambil kembali pemberian itu.” (HR. Al-Bukhari no. 2650 dan Muslim no. 1623) Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan tentang hadits ini bahwa semestinya orang tua menyamakan di antara anak-anaknya dalam hal pemberian. Dia berikan pada seorang anak sesuatu yang semisal dengan yang lain dan tidak melebihkannya, serta menyamakan pemberian antara anak laki-laki dan perempuan. (Syarh Shahih Muslim, 11/29) Begitu pula dari sisi pendidikan, orang tua harus memberikan pengajaran dan pengarahan kepada anak-anaknya, termasuk anak perempuannya. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ البَهِيْمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا جَدْعَاءَ؟ “Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak akan melahirkan binatang ternak yang sempurna. Apakah engkau lihat ada binatang yang lahir dalam keadaan telah terpotong telinganya?” (HR. Al-Bukhari no. 1385) Seorang anak yang terlahir di atas fitrah ini siap menerima segala kebaikan dan keburukan. Sehingga dia membutuhkan pengajaran, pendidikan adab, serta pengarahan yang benar dan lurus di atas jalan Islam. Maka hendaknya kita berhati-hati agar tidak melalaikan anak perempuan yang tak berdaya ini, hingga nantinya dia hidup tak ubahnya binatang ternak. Tidak mengerti urusan agama maupun dunianya. Sesungguhnya pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada teladan yang baik bagi kita. (Al-Intishar li Huquqil Mukminat, hal. 25) Bahkan ketika anak perempuan ini telah dewasa, orang tua selayaknya tetap memberikan pengarahan dan nasehat yang baik. Ini dapat kita lihat dari kehidupan seseorang yang terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu, dalam peristiwa turunnya ayat tayammum. Diceritakan peristiwa ini oleh ‘Aisyah radhiyallahu 'anha: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ أَوْ بِذَاتِ الْجَيْشِ انْقَطَعَ عِقْدٌ لِي، فَأَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى التِّمَاسِهِ، وَأَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ. فَأَتَى النَّاسُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيْقِ فَقَالُوا: أَلاَ تَرَى مَا صَنَعَتْ عَائِشَةُ؟ أَقَامَتْ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسِ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ. فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاضِعٌ رَأْسَهُ عَلَى فَخِذِي قَدْ نَامَ. فَقَالَ: حَبَسْتِ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسَ، وَلَيْسُوا عَلَى مَاءٍ وَلَيْسَ مَعَهُمْ مَاءٌ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: فَعَاتَبَنِي أَبُو بَكْرٍ وَقَالَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَقُوْلَ، وَجَعَلَ يَطْعُنُنِي بِيَدِهِ فِي خَاصِرَتِي، فَلاَ يَمْنَعُنِي مِنَ التَّحَرُّكِ إِلاَّ مَكَانُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى فَخِذِي. فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ أَصْبَحَ عَلََى غَيْرِ مَاءٍ، فَأَنْزَلَ اللهُ آيَةَ التَّيَمُّمِ، فَتَيَمَّمُوا. فَقَالَ أُسَيْدُ بْنُ الْحُضَيْرِ: مَا هِيَ بِأَوَّلِ بَرَكَتِكُمْ يَا آلَ أَبِي بَكْرٍ. قَالَتْ: فَبَعَثْنَا البَعِيْرَ الَّذِي كُنْتُ عَلَيْهِ، فَأَصَبْنَا العِقْدَ تَحْتَهُ “Kami pernah keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu safarnya. Ketika kami tiba di Al-Baida’ –atau di Dzatu Jaisy– tiba-tiba kalungku hilang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun singgah di sana untuk mencarinya, dan orang-orang pun turut singgah bersama beliau dalam keadaan tidak ada air di situ. Lalu orang-orang menemui Abu Bakr sembari mengeluhkan, “Tidakkah engkau lihat perbuatan ‘Aisyah? Dia membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang singgah di tempat yang tak ada air, sementara mereka pun tidak membawa air.” Abu Bakr segera mendatangi ‘Aisyah. Sementara itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tidur sambil meletakkan kepalanya di pangkuanku. Abu Bakr berkata, “Engkau telah membuat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang singgah di tempat yang tidak berair, padahal mereka juga tidak membawa air!” Aisyah melanjutkan, “Abu Bakr pun mencelaku dan mengatakan apa yang ia katakan, dan dia pun menusuk pinggangku dengan tangannya. Tidak ada yang mencegahku untuk bergerak karena rasa sakit, kecuali karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang tidur di pangkuanku. Keesokan harinya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun dalam keadaan tidak ada air. Maka Allah turunkan ayat tayammum sehingga orang-orang pun melakukan tayammum. Usaid ibnul Hudhair pun berkata, “Ini bukanlah barakah pertama yang ada pada kalian, wahai keluarga Abu Bakr.” ‘Aisyah berkata lagi, “Kemudian kami hela unta yang kunaiki, ternyata kami temukan kalung itu ada di bawahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 224 dan Muslim no. 267) Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu mengatakan bahwa di dalam hadits ini terkandung ta`dib (pendidikan adab) seseorang terhadap anaknya, baik dengan ucapan, perbuatan, pukulan, dan sebagainya. Di dalamnya juga terkandung ta`dib terhadap anak perempuan walaupun dia telah dewasa, bahkan telah menikah dan tidak lagi tinggal di rumahnya. (Syarh Shahih Muslim, 4/58) Inilah di antara pemuliaan Islam terhadap keberadaan anak perempuan. Tidak ada penyia-nyiaan, tidak ada peremehan dan penghinaan. Bahkan diberi kecukupan, dilimpahi kasih sayang diiringi pendidikan yang baik, agar kelak memberikan manfaat bagi kedua orang tuanya di negeri yang kekal abadi. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab. Isti'dzan Kakak memperkosa adik gara-gara sering melihat adegan mesra orang tuanya, memang bukan berita baru lagi. Namun satu hal yang pasti, itu semua jelas membuat kita prihatin. Sudah demikian rusakkah moral anak-anak kita? Atau jangan-jangan kita tidak pernah menyadari, bahwa kita sendiri juga turut “menciptakan” fantasi kotor anak-anak kita, selain tentu saja film atau klip porno melalui VCD atau handphone? Mendidik dan membesarkan anak tentu penuh liku-liku dan punya seluk-beluk tersendiri. Sehingga, orang tua mesti memiliki andil dalam berbagai sisi kehidupan si anak. Mulai pemeliharaan kesehatan badannya, menanamkan akidah yang benar, membiasakan akhlak yang mulia, hingga menjaga kebersihan jiwa seorang anak. Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta'ala mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya, karena Islam adalah agama yang bersih, yang menjaga agar angan-angan, akal, hati dan lisan anak senantiasa dalam keadaan bersih. Di antara sekian banyak hal yang harus dilakukan untuk menjaga kebersihan jiwa seorang anak, ada satu hal yang teramat sering dilupakan orang tua. Padahal permasalahan ini diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Kitab-Nya: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِيْنَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِيْنَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَحِيْنَ تَضَعُوْنَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيْرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاَةِ الْعِشَاءِ ثَلاَثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلاَ عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُوْنَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلآيَاتِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ. وَإِذَا بَلَغَ اْلأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah budak laki-laki dan wanita yang kalian miliki dan orang-orang yang belum baligh di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali, yaitu sebelum shalat subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian di tengah hari, dan setelah shalat ‘Isya. Itulah tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari tiga waktu itu. Mereka melayani kalian, sebagian ada keperluan atas sebagian yang lainnya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat ini bagi kalian, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha sempurna hikmah-Nya. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nur: 58-59) Dalam ayat yang mulia ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan kaum mukminin agar budak-budak yang mereka miliki dan anak-anak yang belum ihtilam (baligh) meminta izin kepada mereka pada tiga keadaan. Pertama, sebelum shalat subuh, karena pada saat itu orang-orang tengah tidur di pembaringan mereka; kedua, ketika kalian menanggalkan pakaian di tengah hari, yaitu pada waktu tidur siang (qailulah), karena pada saat itu terkadang seseorang menanggalkan pakaiannya bersama istrinya; ketiga, setelah shalat ‘Isya, karena ini adalah waktu tidur. Karena itulah para budak maupun anak-anak diperintahkan agar mereka tidak masuk menemui ahlul bait tanpa izin pada keadaan-keadaan ini. Sebab dikhawatirkan, saat itu seseorang sedang berada dalam posisi di atas istrinya (jima’, red.) atau hal-hal semacam itu. (Tafsir Ibnu Katsir 5/427) Umumnya, pada waktu-waktu ini seseorang bersama istrinya tengah menanggalkan pakaiannya, karena ini adalah waktu-waktu jima’. Maka orang tua diperintahkan untuk mengajari anak-anak mereka yang telah mumayyiz yang belum mencapai usia baligh (ihtilam) untuk meminta izin kepada mereka pada waktu-waktu ini. Karena terkadang seorang anak ketika masuk menemui orang tuanya mendapati mereka dalam keadaan yang tidak semestinya dilihat, seperti menanggalkan pakaian, jima’, atau yang lainnya. Kemudian si anak keluar, sementara di benaknya telah tergambar pemandangan yang dilihat dari ibu atau ayahnya hingga mengotori pikirannya. Dia pun berupaya mencari cara untuk mempraktekkan apa yang dilihatnya. Hingga bisa jadi dia praktekkan dengan tetangga atau teman wanitanya. Bahkan dengan saudara perempuannya, terutama dalam rumah yang tak terjaga dan yang tempat tidur anak laki-laki dan perempuannya tidak dipisah. Maka sangat mungkin anak laki-laki yang tidur di sisi saudara perempuannya dalam keadaan dia telah melihat pemandangan yang begitu menggelorakan dari ayah dan ibunya, kemudian melakukannya bersama saudara perempuannya. Sesungguhnya setan sangat menginginkan kerusakan, hingga terkadang setan menuntunnya menuju kerusakan dan kehinaan bersama saudara perempuannya. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal.148-149) Pada ketiga keadaan inilah para budak dan anak-anak kecil seperti orang lain, tidak diperkenankan masuk tanpa izin. Adapun pada selain ketiga keadaan ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلاَ عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ (Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari tiga waktu itu). Mereka tidak seperti yang lainnya, karena penghuni rumah itu senantiasa membutuhkan mereka, sehingga sulit bagi mereka bila harus meminta izin pada setiap waktu. Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: طَوَّافُوْنَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ (Mereka melayani kalian, sebagian ada keperluan atas sebagian yang lainnya) Mereka keluar masuk menemui kalian untuk meringankan kesibukan dan menunaikan kebutuhan kalian. (Taisirul Karimir Rahman, hal.573-574) Inilah ayat Allah yang muhkamat dan tidaklah terhapus ayat ini hingga hari ini. Namun sangat disayangkan, perintah yang agung ini banyak dilupakan. Sampai-sampai Abdullah ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma mengatakan: لَمْ يُؤْمِنْ بِهَا أَكْثَرُ النَّاسِ آيَةُ الإِذْنِ، وَإِنِّي لآمُرُ جَارِيَتِي هَذِهِ تَسْتَأْذِنُ عَلَيَّ “Satu ayat yang kebanyakan orang tidak mengimaninya, yaitu ayat tentang izin. Dan sungguh aku memerintahkan budak perempuanku ini untuk meminta izin kepadaku.” Abu Dawud berkata: Demikianlah ‘Atha` meriwayatkannya dari Ibnu ‘Abbas, bahwa beliau memerintahkan hal ini. (HR .Abu Dawud no. 5191, dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud: shahihul isnad mauquf) Suatu ketika Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma pernah ditanya penduduk Iraq, “Wahai Ibnu ‘Abbas, bagaimana pandanganmu tentang ayat yang diperintahkan kepada kami, namun tidak diamalkan oleh seorang pun, yakni firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِيْنَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِيْنَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَحِيْنَ تَضَعُوْنَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيْرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلاَةِ الْعِشَاءِ ثَلاَثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلاَ عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُوْنَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلآيَاتِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ. وَإِذَا بَلَغَ اْلأَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ آيَاتِهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah budak laki-laki dan wanita yang kalian miliki dan orang-orang yang belum baligh di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali, yaitu sebelum shalat subuh, ketika kalian menanggalkan pakaian di tengah hari, dan setelah shalat ‘Isya. Itulah tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari tiga waktu itu. Mereka melayani kalian, sebagian ada keperluan atas sebagian yang lainnya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat ini bagi kalian, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha sempurna hikmah-Nya. Dan apabila anak-anak-mu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An Nur: 58-59) Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma menjawab: إِنَّ اللهَ حَلِيْمٌ رَحِيْمٌ بِالْمُؤْمِنِيْنَ يُحِبُّ السَّتْرَ، وَكَانَ النَّاسُ لَيْسَ لَِبُيُوْتِهِمْ سُتُوْرٌ وَلاَ حِجَالٌ، فَرُبَّمَا دَخَلَ الخَادِمُ أَوِ الوَلَدُ أَوْ يَتِيْمُهُ وَالرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ، فَأَمَرَ اللهُ بِاْلإِسْتِئْذَانِ فِي تِلْكَ العَوْرَاتِ، فَجَاءَهُمُ اللهُ بِالسُّتُوْرِ وَالخَيْرِ، فَلَمْ أَرَ أَحَدًا يَعْمَلُ بِذَلِكَ بَعْدُ “Sesungguhnya Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang terhadap kaum mukminin, Dia mencintai tabir. Sementara orang-orang dahulu, rumah-rumah mereka tidak memiliki tabir ataupun penutup, sehingga terkadang budak, anak atau anak yatimnya masuk dalam keadaan seseorang sedang berada di atas istrinya. Maka Allah memerintahkan untuk meminta izin pada waktu-waktu aurat tersebut. Namun kemudian Allah datangkan pada mereka tabir dan kebaikan, sehingga setelah itu aku tidak melihat seorang pun mengamalkannya.” 1(HR. Abu Dawud no. 5192, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasanul isnad mauquf) Demikian pula Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullahu membawakan riwayat yang sanadnya sampai kepada Asy-Sya’bi rahimahullahu tentang firman Allah: لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِيْنَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ (hendaklah budak laki-laki dan wanita yang kalian miliki meminta izin kepada kalian). Asy Sya’bi rahimahullahu mengatakan, “Ayat ini tidak dihapus.” Aku (Musa bin Abi ‘Aisyah) pun berkata, “Sesungguhnya orang-orang tidak mengamalkannya.” Beliau menjawab, “Allahul musta’an (hanya Allah-lah yang dimintai pertolongan).” (Tafsir Ath-Thabari 9/346) Demikianlah satu hal yang tak boleh diremehkan orang tua dalam mendidik anak-anaknya, agar tumbuh dirinya dalam keadaan bersih hingga menuai keberuntungan di dunia dan di akhirat. Selayaknya orang tua memperhatikan dan menerapkannya dalam keseharian. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab. 1 Disebutkan dalam riwayat yang lain dari Ibnu ‘Abbas c: ثُمَّ جَاءَ اللهُ بَعْدُ بِالسُّتُوْرِ فَبَسَطَ اللهُ عَلَيْهِمُ الرِّزْقَ فَاتَّخَذُوا السُّتُوْرَ وَاتَّخَذُوا الْحِجَالَ، فَرَأَى النَّاسُ أَنَّ ذَلِكَ قَدْ كَفَّاهُمْ مِنَ اْلاِسْتِأْذَانِ الَّذِي أُمِرُوا بِهِ “Setelah itu Allah mendatangkan tirai dan Allah luaskan rizki untuk mereka, maka merekapun membuat tirai dan penutup. Maka orang-orang memandang bahwa hal itu mencukupi mereka dari isti`dzan yang diperintahkan untuk mereka.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Katsir menyatakan: “Ini adalah sanad yang shahih sampai Ibnu ‘Abbas.”) [Tafsir Ibnu Katsir, 3/315, cetakan Darul Ma’rifah, Beirut) Abu Bakr Al-Jashshash mengatakan: “Dalam riwayat tersebut, Ibnu ‘Abbas memberitakan bahwa perintah untuk meminta izin dalam ayat ini terkait dengan suatu sebab. Sehingga, ketika sebab itu tidak ada, maka hukum itu pun tidak berlaku. Ini menunjukkan, beliau tidak berpendapat bahwa ayat tersebut mansukh dan bahwa bila sebab yang semacam itu muncul lagi maka hukum itu pun akan berlaku.” (Ahkamul Qur`an, 3/330) Lihat pula penjelasan yang semakna dalam ‘Aunul Ma’bud (14/99, cetakan Maktabah Ibnu Taimiyyah) dan Tafsir Al-Qurthubi (12/303). –ed Kebaikanku Untukmu Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Anisah Bintu 'Imran Ketika melihat seorang anak yang berperangai buruk, tak jarang orang berkata: Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Pepatah ini menggambarkan bahwa keadaan seorang anak (utamanya dalam hal watak) biasanya tak beda jauh dengan keadaan orang tuanya. Barangkali memang ada benarnya. Di dalam syariat Islam juga diterangkan bahwa amalan yang biasa dikerjakan orang tua, entah baik atau buruk, sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak-anaknya. Karenanya, orang tua dianjurkan untuk banyak melakukan amal shalih agar bisa menular kepada anak-anaknya. Setiap orang tua yang mendambakan anak-anaknya menjadi anak yang shalih selayaknya tak hanya memfokuskan perhatian pada tingkah laku anak-anaknya semata. Semestinya dia juga tidak melalaikan dirinya. Dia akan membiasakan dan menyibukkan dirinya dengan amalan-amalan yang baik, karena kebaikan yang dia lakukan akan membuahkan kebaikan bagi sang anak di dunia dan di akhirat kelak. Sebaliknya, dia akan berupaya menjauhi perbuatan-perbuatan buruk, karena hal itu akan menimbulkan pengaruh buruk dalam perjalanan mendidik anak-anaknya. Terkadang bentuk balasan amalan orang tua terwujud pada diri anak-anaknya, baik dalam bentuk kebaikan si anak, penjagaan, kelapangan rizki serta kesehatan mereka, ataupun dalam bentuk penyimpangan mereka, musibah, penyakit dan segala problem yang menimpa mereka. Oleh karena itulah orang tua harus memperbanyak amalan shalihah hingga dampaknya pun mengalir pada diri anak-anaknya. Perbuatan baik yang dilakukan orang tua akan berbuah barakah dan balasan yang baik dari sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hal ini tercermin dalam kisah yang terabadikan dalam Al-Qur`an, tatkala Nabiyullah Musa 'alaihissalam bersama Nabiyullah Khidhir 'alaihissalam mendatangi suatu daerah dan meminta penduduknya agar menjamu mereka. Namun penduduk di daerah itu menolak. Lalu mereka berdua mendapati di situ ada sebuah dinding yang miring hampir roboh. Nabi Khidhir 'alaihissalam pun memperbaikinya hingga membuat Nabi Musa 'alaihissalam keheranan dan mengatakan, “Seandainya engkau mau, engkau bisa meminta upah dari mereka.” Ternyata inilah jawaban dari peristiwa yang mengherankan itu: وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلاَمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوْهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ “Adapun dinding itu milik dua orang anak yatim di kota ini dan di bawahnya tersimpan harta milik mereka berdua, sementara ayah mereka adalah seorang yang shalih. Maka Rabbmu menghendaki mereka berdua mencapai usia dewasa dan mengeluarkan harta simpanan itu sebagai rahmat dari Rabbmu.” (Al-Kahfi: 82) Keadaan kedua anak yatim itu menimbulkan perasaan iba dan kasih sayang terhadap mereka, karena mereka adalah dua orang anak kecil yang tak memiliki ayah. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga mereka berdua karena kebaikan ayah mereka. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 483) Kalam Allah Subhanahu wa Ta'ala ini menunjukkan bahwa seorang yang shalih akan terjaga keturunannya dan barakah ibadahnya akan meliputi mereka di dunia dan di akhirat nanti dengan adanya syafaat orang yang shalih itu bagi keturunannya, serta diangkat derajat anak keturunannya itu hingga mencapai derajat paling tinggi di dalam surga, agar menyenangkan hati orang shalih tersebut, sebagaimana hal ini pun dijelaskan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah. Sa’id bin Jubair rahimahullahu meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhu, “Mereka berdua dijaga dengan sebab keshalihan ayah mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/141) Di samping itu, orang tua harus menjaga makanan, minuman dan pakaian yang dikenakannya. Hal ini jelas memiliki pengaruh pada keshalihan anak, karena orang tua tak lepas dari doa kebaikan bagi anak-anak mereka. Dengan demikian, dia menadahkan tangan untuk memohon kebaikan anak-anak mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan tangan yang bersih dan jiwa yang suci, hingga terkabul permohonannya. إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ “Sesungguhnya Allah hanya menerima amalan orang-orang yang bertakwa.” (Al-Ma`idah: 27) Tentang hal ini, Abu Hurairah radhiallahu 'anhu menyampaikan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ. فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِن الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ} وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ. وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟ “Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik, dan Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman apa yang Dia perintahkan terhadap para rasul. Allah berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik-baik dan berbuatlah amalan shalih, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui segala yang kalian perbuat.’ Dan Allah berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan yang baik yang Kami rizkikan kepada kalian.’ Kemudian beliau menyebutkan tentang seseorang yang menempuh perjalanan panjang dalam keadaan kusut masai rambutnya dan berdebu, menadahkan kedua tangannya ke langit, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku!’, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan disuapi dengan sesuatu yang haram. Bagaimana bisa dikabulkan doanya?” (HR. Muslim no. 1015) Diriwayatkan, salah seorang dari kalangan Salaf berkata kepada anaknya: يَا بُنَيَّ، لأَزِيْدَنَّ فِي صَلاَتِي مِنْ أَجْلِكَ “Wahai anakku, sungguh aku akan memperbanyak shalatku karenamu.” Sebagian ulama mengatakan bahwa maknanya: Aku akan shalat sebanyak mungkin dan berdoa sebanyak mungkin dalam shalatku. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 22) Sisi lain pentingnya amalan shalih orang tua bagi anak, anak yang senantiasa melihat orang tuanya melaksanakan ketaatan dan kebaikan akan mendapati teladan yang baik. Anak akan mencontoh perbuatan baik yang dilakukan orang tuanya, hingga dia pun akan terbiasa melakukannya. Sebaliknya, anak yang biasa menyaksikan perbuatan-perbuatan mungkar yang dilakukan orang tuanya akan terbiasa dengan hal itu dan dia pun akan mencontoh perbuatan mungkar itu pula. Wal ‘iyadzu billah! Selain itu pula, amalan shalih orang tua akan membuahkan pujian orang terhadap si anak. Apabila orang memuji dan menyebut-nyebut kebaikan yang dilakukan orang tua di hadapan si anak, anak pun akan besar jiwanya dan termotivasi untuk turut melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Sementara amalan buruk akan menggiring celaan dan hinaan orang terhadapnya. Apabila seorang anak mendengar orang-orang menjulukinya dengan julukan jelek maupun mencelanya karena perbuatan ayahnya, hal ini pun nantinya akan mempengaruhi dan merusak jiwa anak. Tak hanya di dunia buah kebaikan itu dapat diraih, bahkan di akhirat pun anak akan menuai kebaikan karena keshalihan orang tuanya. Demikian yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta'ala: وَالَّذِيْنَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيْمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِيْنٌ “Dan orang-orang yang beriman dan yang anak keturunan mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, akan Kami pertemukan anak keturunan mereka itu dengan mereka dan Kami tidak mengurangi pahala amalan mereka sedikit pun. Setiap orang terikat dengan apa yang diusahakannya.” (Ath-Thur: 21) Dalam firman-Nya ini Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang keutamaan-Nya, kedermawanan-Nya, anugerah-Nya, kelembutan-Nya terhadap makhluk-makhluk-Nya serta kebaikan-Nya, bahwa orang-orang yang beriman apabila anak keturunan mereka mengikuti mereka dalam keimanan, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mempertemukan anak keturunan itu dengan ayah mereka yang shalih, walaupun amalan anak keturunan itu tidak bisa menyamai amalan ayah mereka, untuk menyenangkan hati ayah mereka dengan adanya anak keturunan itu di sisinya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menghimpun mereka dalam bentuk yang paling baik, dengan mengangkat derajat orang yang kurang sempurna amalannya di sisi orang yang sempurna amalannya, tanpa mengurangi pahala amalan dan derajat orang yang sempurna amalannya tersebut. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/332) Demikian pulalah doa para malaikat yang memikul 'Arsy dan para malaikat yang di sekeliling 'Arsy bagi orang-orang yang beriman: رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ “Wahai Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga `Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka beserta orang-orang yang shalih dari kalangan ayah-ayah mereka, istri-istri mereka dan anak-anak mereka.” (Ghafir: 8) Para malaikat itu memohon, kumpulkanlah di antara mereka untuk menyenangkan hati mereka dengan mempertemukan mereka pada tempat-tempat yang berdampingan. (Tafsir Ibnu Katsir, 7/98) Dengan begitu, layaklah kiranya setiap orang tua mempersiapkan segala amalan shalih yang tak hanya membawa kebaikan bagi dirinya. Namun lebih dari itu, kebaikan itu pun akan merambah pada anak keturunannya di dunia dan di akhirat. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab. Di Balik Kelembutan Suaramu Penulis: Al Ustadzah Ummu Ishak Al Atsariyyah & Al Ustadzah Ummu Affan Nafisah bintu Abi Sakinah, Mutiara Kata, 05 - Juli - 2003, 08:30:59 Banyak wanita di jaman ini yang merelakan dirinya menjadi komoditi. Tidak hanya wajah dan tubuhnya yang menjadi barang dagangan, suaranya pun bisa mendatangkan banyak rupiah Ukhti Muslimah…. Suara empuk dan tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik secara langsung atau lewat radio dan televisi. Terlebih lagi bila wanita itu berprofesi sebagai penyiar atau MC karena memang termasuk modal utamanya adalah suara yang indah dan merdu. Begitu mudahnya wanita tersebut memperdengarkan suaranya yang bak buluh perindu, tanpa ada rasa takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Padahal Dia telah memperingatkan: “Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al Ahzab: 32) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah bersabda : “Wanita itu adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan menghias-hiasinya (membuat indah dalam pandangan laki-laki sehingga ia terfitnah)”. (HR. At Tirmidzi, dishahihkan dengan syarat Muslim oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi`i dalam Ash Shahihul Musnad, 2/36). Suara merupakan bagian dari wanita sehingga suara termasuk aurat, demikian fatwa yang disampaikan Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Al Jibrin sebagaimana dinukil dalam kitab Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (1/ 431, 434) Para wanita diwajibkan untuk menjauhi setiap perkara yang dapat mengantarkan kepada fitnah. Apabila ia memperdengarkan suaranya, kemudian dengan itu terfitnahlah kaum lelaki, maka seharusnya ia menghentikan ucapannya. Oleh karena itu para wanita diperintahkan untuk tidak mengeraskan suaranya ketika bertalbiyah1. Ketika mengingatkan imam yang keliru dalam shalatnya, wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya dengan ber-tashbih sebagaimana laki-laki, tapi cukup menepukkan tangannya, sebagaimana tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Ucapan tashbih itu untuk laki-laki sedang tepuk tangan untuk wanita”. (HR. Al Bukhari no. 1203 dan Muslim no. 422) Demikian pula dalam masalah adzan, tidak disyariatkan bagi wanita untuk mengumandangkannya lewat menara-menara masjid karena hal itu melazimkan suara yang keras. Ketika terpaksa harus berbicara dengan laki-laki dikarenakan ada kebutuhan, wanita dilarang melembutkan dan memerdukan suaranya sebagaimana larangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al-Ahzab di atas. Dia dibolehkan hanya berbicara seperlunya, tanpa berpanjang kata melebihi keperluan semula. Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah u berkata dalam tafsirnya: “Makna dari ayat ini (Al-Ahzab: 32), ia berbicara dengan laki-laki yang bukan mahramnya tanpa melembutkan suaranya, yakni tidak seperti suaranya ketika berbicara dengan suaminya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/491). Maksud penyakit dalam ayat ini adalah syahwat (nafsu/keinginan) berzina yang kadang-kadang bertambah kuat dalam hati ketika mendengar suara lembut seorang wanita atau ketika mendengar ucapan sepasang suami istri, atau yang semisalnya. Suara wanita di radio dan telepon Asy Syaikh Muhammad Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya: “Bolehkah seorang wanita berprofesi sebagai penyiar radio, di mana ia memperdengarkan suaranya kepada laki-laki yang bukan mahramnya? Apakah seorang laki-laki boleh berbicara dengan wanita melalui pesawat telepon atau secara langsung?” Asy Syaikh menjawab: “Apabila seorang wanita bekerja di stasiun radio maka dapat dipastikan ia akan ikhtilath (bercampur baur) dengan kaum lelaki. Bahkan seringkali ia berdua saja dengan seorang laki-laki di ruang siaran. Yang seperti ini tidak diragukan lagi kemungkaran dan keharamannya. Telah jelas sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita.” Ikhtilath yang seperti ini selamanya tidak akan dihalalkan. Terlebih lagi seorang wanita yang bekerja sebagai penyiar radio tentunya berusaha untuk menghiasi suaranya agar dapat memikat dan menarik. Yang demikian inipun merupakan bencana yang wajib dihindari disebabkan akan timbulnya fitnah. Adapun mendengar suara wanita melalui telepon maka hal tersebut tidaklah mengapa dan tidak dilarang untuk berbicara dengan wanita melalui telepon. Yang tidak diperbolehkan adalah berlezat-lezat (menikmati) suara tersebut atau terus-menerus berbincang-bincang dengan wanita karena ingin menikmati suaranya. Seperti inilah yang diharamkan. Namun bila hanya sekedar memberi kabar atau meminta fatwa mengenai suatu permasalahan tertentu, atau tujuan lain yang semisalnya, maka hal ini diperbolehkan. Akan tetapi apabila timbul sikap-sikap lunak dan lemah-lembut, maka bergeser menjadi haram. Walaupun seandainya tidak terjadi yang demikian ini, namun tanpa sepengetahuan si wanita, laki-laki yang mengajaknya bicara ternyata menikmati dan berlezat-lezat dengan suaranya, maka haram bagi laki-laki tersebut dan wanita itu tidak boleh melanjutkan pembicaraannya seketika ia menyadarinya. Sedangkan mengajak bicara wanita secara langsung maka tidak menjadi masalah, dengan syarat wanita tersebut berhijab dan aman dari fitnah. Misalnya wanita yang diajak bicara itu adalah orang yang telah dikenalnya, seperti istri saudara laki-lakinya (kakak/adik ipar), atau anak perempuan pamannya dan yang semisal mereka.” (Fatawa Al Mar‘ah Al Muslimah, 1/433-434). Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Jibrin menambahkan dalam fatwanya tentang permasalahan ini: “Wajib bagi wanita untuk bicara seperlunya melalui telepon, sama saja apakah dia yang memulai menelepon atau ia hanya menjawab orang yang menghubunginya lewat telepon, karena ia dalam keadaan terpaksa dan ada faidah yang didapatkan bagi kedua belah pihak di mana keperluan bisa tersampaikan padahal tempat saling berjauhan dan terjaga dari pembicaraan yang mendalam di luar kebutuhan dan terjaga dari perkara yang menyebabkan bergeloranya syahwat salah satu dari kedua belah pihak. Namun yang lebih utama adalah meninggalkan hal tersebut kecuali pada keadaan yang sangat mendesak.” (Fatawa Al Mar`ah, 1/435) Laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya Kenyataan yang ada di sekitar kita, bila seorang laki-laki telah meminang seorang wanita, keduanya menilai hubungan mereka telah teranggap setengah resmi sehingga apa yang sebelumnya tidak diperkenankan sekarang dibolehkan. Contoh yang paling mudah adalah masalah pembicaraan antara keduanya secara langsung ataupun lewat telepon. Si wanita memperdengarkan suaranya dengan mendayu-dayu karena menganggap sedang berbincang dengan calon suaminya, orang yang bakal menjadi kekasih hatinya. Pihak laki-laki juga demikian, menyapa dengan penuh kelembutan untuk menunjukkan dia adalah seorang laki-laki yang penuh kasih sayang. Tapi sebenarnya bagaimana timbangan syariat dalam permasalahan ini? Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan menjawab:” Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan wanita yang telah dipinangnya (di-khitbah-nya), apabila memang pinangannya (khitbah) telah diterima. Dan pembicaraan itu dilakukan untuk saling memberikan pengertian, sebatas kebutuhan dan tidak ada fitnah di dalamnya. Namun bila keperluan yang ada disampaikan lewat wali si wanita maka itu lebih baik dan lebih jauh dari fitnah. Adapun pembicaraan antara laki-laki dan wanita, antara pemuda dan pemudi, sekedar perkenalan (ta‘aruf) –kata mereka- sementara belum ada khithbah di antara mereka, maka ini perbuatan yang mungkar dan haram, mengajak kepada fitnah dan menjerumuskan kepada perbuatan keji. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berfirman: “Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al-Ahzab: 32) (Fatawa Al Mar‘ah, 2/605) ? (Disusun dan dikumpulkan dari fatwa Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan dan Asy Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin oleh Ummu Ishaq Al Atsariyah dan Ummu ‘Affan Nafisah bintu Abi Salim). Arti Sebuah Cinta Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada Rabb-nya. Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikitpun. Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya dan menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang dilarang Allah dan berfirman:. Allah Rasul-Nya Muhammad “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14) dalam haditsnya dariRasulullah mengatakan: ‘Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumunishahabat Tsauban kalian sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.’ Seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?’ Rasulullah berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian dan benar-benar Allah akan campakkan ke dalam hati kalian (penyakit) al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yang dimaksud dengan al-wahn wahai Rasulullah?’ menjawab: ‘Cinta dunia dan takut mati.’ (HR. Abu Dawud no. 4297,Rasulullah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610) Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan: “Allah memberitakan dalam dua ayat ini (Ali ‘Imran: 13-14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan Allah menjelaskan perbedaan yang besar antara dua negeri tersebut. Allah memberitakan bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka dan menancapkannya di dalam hati-hati mereka, semuanya berakhir kepada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari cita-cita, cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat cepat.” Definisi Cinta Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9) Hakikat Cinta Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan. Cinta kepada Allah Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka: “Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31) Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah mengikuti , faidah dan buahnya adalah kecintaan Allah kepada kalian. JikaRasulullah maka kecintaan Allah kepada kalian tidakkalian tidak mengikuti Rasulullah akan terwujud dan akan hilang.” Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas binsisi Allah. Rasulullah :Malik “Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43) Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara: Pertama, membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya. Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib. Ketiga, terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan. Keempat, mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu. Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya. Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya. .Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun (ke langit dunia). Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur. Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan . (Madarijus Salikin, 3/18, denganmenghalangi hati dari Allah ringkas) Cinta adalah Ibadah Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama berfirman:sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah “Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7) “Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165) “Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54) adalah hadits Anas yang telahAdapun dalil dari hadits Rasulullah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.” Macam-macam cinta Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam: Pertama, cinta ibadah. Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas. Kedua, cinta syirik. Yaitu mencintai Allah dan berfirman:juga selain-Nya. Allah “Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165) Ketiga, cinta maksiat. Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan berfirman:apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah “Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr: 20) Keempat, cinta tabiat. Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah berfirman: “Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf: 8) Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik. Buah cinta mengatakan: “Ketahuilah bahwa yangSyaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95) Asy-Syaikh menyatakan: “Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan‘Abdurrahman As-Sa’di dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110) Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci. Pertama, bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas haram. Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram. Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan. Wallahu a’lam.  Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari hal ini