Jumat, 18 Desember 2009

Bulan Muharram

mansa MUHARRAM DALAM PANDANGAN ISLAM [1]. Muharram Adalah Bulan Yang Mulia Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Artinya : Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” [At-Taubah : 36] Imam Ath-Thabari berkata : “Bulan itu ada dua belas, empat diantaranya merupakan bulan haram (mulia), dimana orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Sampai seandainya ada seseorang bertemu dengan orang yang membunuh ayahnya maka dia tidak akan menyerangnya. Bulan empat itu adalah Rajab Mudhor, dan tiga bulan berurutan, yaitu Dulqqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dengan ini nyatalah khabat-khabar yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Kemudian At-Thabari meriwayatkan beberapa hadits, diantaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Wahai manusia, sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dan sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ada dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan haram, pertamanya adalah Rajab Mudhor, terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban, kemudian Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram” Dan ini merupakan perkataan mayoritas ahli tafsir {Jami’ul Bayan 10/124-125] Imam Al-Qurthubi berkata : “Pada ayat ini terdapat delapan permasalahan. Yang keempat : Bulan haram yang disebutkan dalam ayat adalah Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab yang terletak antara Jumadal Akhir dan Sya’ban. Dinamakan Rajab Mudhor, karena Robi’ah bin Nazar, mereka mengharamkan bulan Rajab itu sendiri”. Kedelapan : “Allah menyebut secara khusus empat bulan ini dan melarang perbuatan dzolim pada bulan-bulan tersebut sebagai pemuliaan, walaupun perbuatan dzolim itu juga dilarang pada setiap waktu, seperti firman Allah. “Artinya : Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji” [Al-Baqarah : 197] Ini menurut mayoriyas ahli tafsir Maksudnya janganlah kalian berbuat kedholiman pada empat bulan tersebut. [Al-Jami Li Ahkamil Qur’an 4/85-87] Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata : “Empat bulan tersebut adalah Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram. Dinamakan haram karena kemuliaan yang lebih dan diharamkannya peperangan pada bulan tersebut” [Tatsiru Karimir Rohmah Fi Tafsiri Kalamil Mannan hal, 296] Imam Al-Baghawi berkata : “Janganlah kalian berbuat dzalim pada semua bulan (dua belas bulan) tersebut dengan melakukan kemaksiatan dan melalaikan kataatan”. Ada yang berpendapat bahwa kalimat “fiihinna” maksudnya adalah empat bulan haram tersebut. Qotadah berkata : “Amalan shalih pada bulan haram pahalanya sangat agung dan perbuatan dholim di dalamnya merupakan kedholiman yang besar pula dibanding pada bulan selainnya, walaupun yang namanya kedholiman itu kapanpun merupakan dosa yang besar”. Ibnu Abbas berkata : “Janganlah kalian berbuat dholim pada diri kalian, yang dimaksud adalah menghalalkan sesuatu yang haram dan melakukan penyerangan”. Muhammad bin Ishaq bin Yasar berkata : “Janganlah kalian menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan yang halal, seperti perbuatan orang-orang musyrik yaitu mengundur-undurkan bulan haram (yaitu pada bulan Safar)’ [Ma’alimut Tanzil 4/44-45] Imam Bukhari ketika menafsirkan ayat di atas (At-Taubah : 36) membawakan suatu hadits. “Artinya : Dari Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda : “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan haram, tiga bulan berurutan yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban” [Hadits Riwayat Bukhari : 4662] Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan : “Kaum muslimin telah sepakat bahwa empat bulan haram seperti termaktub dalam hadits, tetapi mereka berselisih cara mengurutkannya. Sekelompok penduduk Kufah dan Arab mengurutkan : Muharram, Rajab, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah, agar empat bulan tersebut terkumpul dalam satu tahun. Ulama Madinah, Basrah dan mayoritas ulama mengurutkan, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab, tiga berurutan dan satu bulan tersendiri (Rajab). Inilah pendapat yang benar sebagaimana tertera dalam hadits-hadits yang shahih,diantaranya hadits yang sedang kita perbincangkan.Oleh karenanya hal ini lebih sesuai (memudahkan) manusia untuk melakkan thawaf pada semua buan haram tersebut. [10/319-320] Termasuk kemuliaan bulan-bulan haram adalah dilarangnya peperangan pada bulan tersebut. Hanya saja larangan ini di-mansukh (dihapus) hukumnya menurut jumhur ulama. Karena di dalam Islam peperangan itu terbagi menjadi dua, diijinkan dan dilarang. Peperangan yang dijinkan dibolehkan bila adanya sebab. Sedangkan peperangan yang haram itu dilarang kapan saja. Maka tidak ada lagi keistimewaan bagi bulan-bulan haram kecuali sebatas kemulyaan yang sudah ditentukan pada hari-hari sebelumnya yaitu terbatas pada waktu-waktu yang utama. Imam Al-Hasan Al-Bashri mengatakan : “Sesungguhnya Allah membuka tahun dengan bulan haram dan menutupnya juga dengan bulan yang haram. Tidak ada bulan yang paling mulya disisi Allah setelah Ramadhan (selain bulan-bulan haram ini, -pen)”. Pada bulan Muharram ini terdapat hari yang pada hari itu terjadi peristiwa yang besar dan pertolongan yang nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebathilan, dimana Allah telah menyelamatkan Musa ‘Alaihis sallam dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Hari tersebut mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan yang abadi sejak dulu. Dia adalah hari kesepuluh yang dinamakan Asyura. [Durusun ‘Aamun, Abdul Malik Al-Qasim, hal.10] [2]. Disyariatkan Puasa Asyura Berdasarkan hadits-hadist berikut ini. “Artinya : Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa Asyura, tatkala puasa Ramadhan diwajibkan, maka bagi siapa yang ingin berpuasa puasalah, dan siapa yang tidak ingin, tidak usah berpuasa” [Hadits Riwayat Bukhari 2001] “Artinya : Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Mereka mengatakan :”Hari ini adalah hari yang agung dimana Allah telah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan pasukan Fir’aun, lalu Musa berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ; “Saya lebih berhak atas Musa dari pada mereka”, lalu beliau berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa pada hari itu” [Hadits Riwayat Bukhari 3397] Keutamaan Puasa Asyura “Artinya : Ibnu Abbas Radhiyalahu anhu ditanya tentang puasa Asyura, jawabnya : “Saya tidak mengetahui bahwa Rasulullah puasa pada hari yang paling dicari keutamaannya selain hari ini (Asyura) dan bulan Ramadhan” [Hadits Riwayat Bukhari 1902, Muslim 1132] Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu, berdasarkan hadits berikut. “Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura, jawabnya : “Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu” [Hadits Riwayat Muslim 1162, Tirmidzi 752, Abu Daud 2425, Ibnu Majah 1738, Ahmad 22031] Asyura Adalah Hari Kesepuluh Berdasarkan hadits berikut. : "Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu : Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa, para sahabat berkata : “Wahai Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara”, Maka beliau bersabda : “Tahun depan insya Allah kita akan berpuasa hari kesembilan”. Ibnu Abbas berkata : “Tahun berikutnya belum datang Rasulullah keburu meninggal” [Hadits Riwayat Muslim 1134, Abu Daud 2445, Ahmad 2107] Imam Nawawi berkata : “Jumhur ulama Salaf dan khalaf berpendapat bahwa hari Asyura adalah hari kesepuluh. Yang berpendapat demikian diantaranya adalah Sa’id bin Musayyib, Al-Hasan Al-Bashri, Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih dan banyak lagi. Pendapat ini sesuai dengan (dzahir) teks hadits dan tuntutan lafadnya. [Syarah Shahih Muslim 9 hal. 205] Hanya saja Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat untuk berpuasa hari kesembilan sebagai penyelisihan terhadap ahlul kitab, setelah dikhabarkan kepada beliau bahwa hari tersebut diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashara. Oleh karena itu Imam Nawawi berkata : “ Asy-Syafi’i dan para sahabatnya, Ahmad, Ishaq dan selainnya berpendapat ; Disunnahkan untuk berpuasa hari kesembilan dan kesepuluh karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa hari kesepuluh serta berniat untuk puasa hari kesembilan. Ulama berkata : “Barangkali sebab puasa hari kesembilan bersama hari kesepuluh adalah agar tidak menyerupai orang-orang Yahudi jika hanya berpuasa hari kesepuluh saja. Dan dalam hadits tersebut memang terdapat indikasi ka arah itu” [Syarah Shahih Muslim 9 hal. 205] Al-Allamah Muhammad Shidiq Hasan Khan berkata : “Mayoritas ulama menyunnahkan untuk berpuasa pada hari sebelumnya” [Sailul Jarar Juz 2 hal. 148] Namun dalam masalah ini ulama berselisih. Selain ada yang berpendapat seperti diatas, sebagian ulama berpendapat hendaknya berpuasa satu hari sebelum dan sesudahnya berdasarkan hadits. “Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berpuasalah hari Asyura dan berbedalah dengan orang Yahudi, (dengan) berpuasalah hari sebelumnya dan sesudahnya” [Hadits Riwayat Ahmad 2155] Seperti dikemukakan oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad 2 hal.76 dan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 4 hal. 772. Hanya saja hadits tersebut di dhoifkan oleh beberapa ulama seperti Imam Syaukani dalam Nailul Author 2 hal. 552. Kata beliau : “Riwayat Ahmad ini dho’if mungkar, diriwayatkan dari jalan Dawud bin Ali dari bapaknya, dari kakeknya. Ibnu Abi Laila juga meriwayatkan dari Dawud bin Ali ini” Al-Mubarakfuri menukil perkataan Imam Syaukani ini dalam Tuhfatul Ahwadzi 3 hal. 383. Imam Al-Albani juga mendho’ifkannya dalam ta’liq Shahih Ibnu Khuzaimah yang dinukil oleh Syaikh Muhammad Musthofa Al-Adzami dalam tahqiq Shahih Ibnu Khuzaimah juz 3 hal.290. Syaikh Syu’aib dan Abdul Qadir Al-Arnauth dalam tahqiq kitab Zadul Ma’ad 2 hal. 69. Maka yang rajih adalah pendapat pertama yaitu disunnahkan untuk berpuasa satu hari sebelumnya. Kesimpulannya bahwa bulan Muharram atau dikenal dengan Suro merupakan bulan yang mulia. Maka tidak sepantasnya apabila kaum muslimin mempunyai anggapan miring terhadapnya, dengan menjadikan sebagai bulan keramat. Sehingga menyeret mereka jatuh ke lembah kesyirikan, dengan melakukan acara-acara cerminan dari keyakinan mereka yang keliru. Akibatnya dosa yang disandang semakin banyak karena dilakukan pada bulan yang mulia. KOREKSI TERHADAP KEPERCAYAAN MASYARAKAT SEPUTAR MUHARRAM (SURO) Telah dipaparkan diatas, keyakinan sebagian masyarakat seputar Muharram (Suro). Benarkah keyakinan seperti itu ? Jawabnya : Keyakinan di atas adalah salah. Karena mereka menyandarkan nasib mereka, bahagia dan celaka kepada masa, waktu. Padahal waktu atau masa tidak kuasa memberikan apa-apa. Jadi mereka telah jatuh ke dalam perkara yang di haramkan atau kesyirikan. Allah mengkhabarkan keyakinan orang-orang kafir dan orang-orang musyrikin. “Artinya : Dan mereka berkata : “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan dunia saja, kita mati dan kita hidup, tidak ada yang membinasakan kita selain masa. Dan sekali-kali mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga” [Al-Jatsiyah : 23] Orang-orang kafir tersebut mengingkari adanya hari kiamat, mati hidup mereka waktulah yang menentukan. Bahagia, celaka dan perputaran hidup mati mereka berjalan seiring dengan bergesernya waktu. Tidak disadari mereka telah mencaci masa. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Allah Ta’ala berfirman : “Manusia menyakiti Aku, dia mencaci maki masa, padahal Aku adalah (pemilik dan pengatur masa) Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti” [Bukhari 4826, Muslim 2246] Imam Al-Baghawi berkata : “Makna hadits : Dahulu orang-orang Arab terbiasa mencela masa apabila tertimpa musibah. Mereka mengatakan : “Makna tertimpa masa bencana”. Maka jika mereka menyandarkan musibah yang menimpa kepada masa, berarti mereka telah mencaci pengatur masa itu, yang tentunya adalah Allah. Karena pengatur urusan yang mereka lakukan itu pada hakekatnya adalah Allah. Oleh karena itu mereka dilarang mencela masa. [Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid, hal. 51] Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dalam Al-Qoulus Sadid mengatakan : “Pencelaan kepada masa ini banyak terjadi pada masa jahiliyah. Kemudian diikuti oleh orang-orang fasik, gila dan bodoh. Jika perputaran masa berlangsung tidak sesuai dengan harapan mereka mulailah mereka mencelanya, bahkan tidak jarang melaknatnya. Semua ini timbul karena tipisnya agama mereka dan karena parahnya kedunguan dan kebodohan. Dikarenakan masa itu tidak mempunyai peranan apa-apa dalam menentuka nasib. Sebaliknya, justru masa itulah yang diatur. Kejadin-kejadian yang terjadi dalam rentang waktu, merupakan pengaturan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Oleh karena itu jika masa dicerca berarti mencaci pengaturnya” [Al-Qoulus Sadid hal. 146] Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : “Mencela masa terbagi menjadi tiga macam. Yang kedua yaitu pencelaan kepada masa disertai keyakinan bahwa masa itu merupakan penentu. Masa itulah yang menentukan perkara menjadi baik atau jelek. Ini adalah syirik besar. Karena orang tadi berkeyakinan adanya pencipta selain Allah denan menyandarkan peristiwa-peristiwa kepada selainNya. Setiap orang yang berkeyakinan bahwa ada pencipta selain Allah maka dia kafir. Sama halnya dengan orang yang berkeyakinan adanya ilah selain Allah yang pantas untuk disembah, ini juga kafir. Yang ketiga ; pencelaan terhadap masa namun tidak disertai keyakinan bahwa masa itu merupakan penentu. Tetapi Allah-lah yang mengaturnya. Hanya saja dia mencelanya disebabkan pada masa itulah terjadi peristiwa yang tidak dia senangi. Pencelaan ini diharamkan, namun tidak sampai pada kesyirikan. Hal itu lantaran pencelaan kepada masa tidak terlepas dari dua kemungkinan. Jika pencelaan itu disertai keyakinan bahwa masa itu merupakan penentu maka ini syirik. Jika tidak demikian, maka pada hakekatnya pencelaan itu tertuju kepada Allah, karena Allah-lah yang mengatur masa tersebut, menjadi baik atau jelek. Maka ini diharamkan” [Al-Qoulul Mufid Ala Kitabit Tauhid, hal. 351-352] Oleh karenanya keyakinan bahwa bulan Muharram (Suro) merupakan bulan keramat atau petaka, tidak terlepas dari dua hal bisa haram atau jatuh ke dalam kesyirikan. Belum lagi acara-acara yang menyertainya semisal nyadran ke pantai selatan, jamasan pusaka, kirab kerbau untuk dimintai berkahnya. Tidak diragukan lagi semua itu merupakan syirik besar. Demikian pula keyakinan Syi’ah, sebagaimana telah dikemukakan diatas. Semua itu merupakan cerminan dari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) mereka terhadap imamnya. Dan ini tidak aneh karena hal itu sudah menjadi tradisi mereka. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bersikap ghuluw kepada orang shalih, sabdanya. “Artinya : Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nashara, mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid)” [Hadits Riwayat Bukhari 435, Muslim 531] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi kabar tentang gereja yang ada di Habasyah (Ethiopia), dengan aneka ornamennya, lantas beliau bersabda. “Artinya : Mereka itu, apabila ada orang shalih meninggal, mereka bangun diatas kuburannya sebuah tempat ibadah dan membuat di dalam tempat itu gambar-gambar (patung-patung). Mereka itulah makhluk yang paling jelek disisi Allah” [Hadits Riwayat Bukhari 427 Muslim 528] Diantara perkara bathil yang terdapat pada bulan Muharram, seperti dituturkan oleh Ibnul Qayyim : “Diantara hadits-hadits yang bathil adalah hadits tentang memakai celak pada hari Asyura, berhias, banyak berinfak kepada keluarga, shalat dan amalan-amalan lainnya yang mempunyai fadhilah. Padahal tidak ada satupun hadits yang shahih berkaitan dengan amalan tadi. Hadits-hadits yang shahih hanya berkisar mengenai puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam. Selain itu semuanya bathil. Termasuk perkara yang bathil, menjadikan Asyura sebagai hari penyiksaan dan kesedihan. Ini adalah bid’ah dan mungkar. Ibnu Rajab dalam Latha’iful Ma’arif mengatakan : “Adapun dijadikannya hari Asyura sebagai acara jamuan makan seperti dilakukan oleh Syi’ah Rafidhah, karena untuk memperingati terbunuhnya Al-Husain bin Ali, maka ini termasuk amalan orang yang amalannya sia-sia sedangkan dia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan RasulNya tidak memerintahkan untuk menjadikan hari dimana para nabi tertimpa musibah dan kematiannya sebagai jamuan makan, apalagi orang selain mereka?!” [Durusun Aamun, Abdul Malik Al-Qasim hal. 11-12]. Bila pada bulan haram amalan shalih dibalas dengan berlipat demikian pula balasan bagi perbuatan maksiat, juga berlipat. Allahu a’lam [Disalin dari Buletin Dakwah Al-Furqon Edisi 6 Th 1 Muharram 1422/Maret-April 2002. Diterbitkan Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Ponpes Al-Furqon Al-Islami Srowo, Sidayu Gresik] HARI ASYURA 10 MUHARRAM ANTARA SUNNAH DAN BID’AH * Oleh Ustadz Aris Munandar bin S.Ahmadi SEJARAH DAN KEUTAMAAN PUASA ASYURA Sesungguhnya hari Asyura (10 Muharram) meski merupkan hari bersejarah dan diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid'ah di dalamnya. Adapun yang dituntunkan syariat kepada kita pada hari itu hanyalah berpuasa, dengan dijaga agar jangan sampai tasyabbuh dengan orang Yahudi. "Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa." [1] "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :"Apa ini?" Mereka menjawab :"Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :"Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu." [2] Dua hadits ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di masa jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya. Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau temukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabi-pun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa. Diriwayatkan pada hadits lain. “Artinya : Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukur”[3] “Artinya : Abu Musa berkata : “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulllah Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Puasalah kalian pada hari itu” [4] “Artinya :Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Asyura, maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun kemarin” [5] CARA BERPUASA DI HARI ASYURA [1]. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2: "Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya." Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi: "Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi." Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata (dalam Zaadud Ma'al 2/76):"Ini adalah derajat yang paling sempurna." Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:"Inilah yang Utama." Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434 Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuklebih hati-hati.Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan. [2]. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram Mayoritas Hadits menunjukkan cara ini: “Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:"Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi." Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.", tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat."[6] Dalam riwayat lain : "Artinya : Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan."[7]. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245) :"Keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat Muslim” "Artinya : Dari 'Atha', dia mendengar Ibnu Abbas berkata:"Selisihilan Yahudi, berpuasalah pada tanggal 9 dan 10”. [3]. Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram "Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya” Hadits marfu' ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat): [a]. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk. [b]. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah [c]. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu' Jadi hadits di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma'tsurah karya As-Syafi'i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218. Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma'arif hal 49):"Dalam sebagian riwayat disebutkan atau sesudahnya maka kata atau di sini mungkin karena keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan…." Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246):"Dan ini adalahl akhir perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini (masalah puasa Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau menyocoki ahli kitab dan berkata :"Kami lebih berhak atas Musa daripada kalian (Yahudi).", kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli kitab, maka beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab." Ar-Rafi'i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :"Berdasarkan ini, seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11" [4]. Berpuasa pada 10 Muharram saja Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :"Puasa Asyura mempunyai 3 tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11. Wallahu a'lam." [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H-2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183] __________ Foote Note [*]. Diolah oleh Aris Munandar bin S Ahmadi, dari kitab Rad’ul Anam Min Muhdatsati Asyiril Muharram Al-Haram, karya Abu Thayib Muhammad Athaullah Hanif, tahqiq Abu Saif Ahmad Abu Ali [1]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454, 4/102-244, 7/147, 8/177,178, Ahmad 6/29, 30, 50, 162, Muslim 2/792, Tirmidzi 753, Abu Daud 2442, Ibnu Majah 1733, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/319,320, Al-Humaidi 200, Al-Baihaqi 4/288, Abdurrazaq 4/289, Ad-Darimy 1770, Ath-Thohawi 2/74 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5/253 [2]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4/244, 6/429, 7/274, Muslim 2/795, Abu Daud 2444, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/318, 319, Ahmad 1/291, 310, Abdurrazaq 4/288, Ibnu Majah 1734, Baihaqi 4/286, Al-Humaidi 515, Ath-Thoyalisi 928 [3]. Hadits Riwayat Ahmad 2/359-360 dengan jalan dari Abdusshomad bin Habib Al-Azdi dari bapaknya dari Syumail dari Abu Hurairah, Abdusshomad dan bapaknya keduanya Dha’if. [4]. Hadits Shahih Riwayat Bukahri 4/244, 7/274, Muslim 2/796, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/322 dan Al-Baihaqi 4/289 [5]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/818-819, Abu Daud 2425, Ahmad 5/297, 308, 311, Baihaqi 4.286, 300 Abdurrazaq 4/284, 285 [6]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391 [7]. Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345, Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain BID’AH-BID’AH DI HARI ASYURA [1]. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura [2]. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut. [3]. Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya. [4]. Membakar kemenyan. [5]. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu. [6]. Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (Sebagaimana termaktub dalam Majmu' Syarif) [7]. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin [8]. Memberi uang belanja lebih kepada keluarga. [9]. As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417):"Adapun pernyataan sebagian orang yang menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram) untuk ziarah kepada orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali dan bersilaturahmi maka tidak ada dalil yg menunjukkan keutamaan amal-amal itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya adalah bid'ah." Ibnu Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif hal. 53) : “Hadits anjuran memberikan uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan namun tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama yang mengatakan demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Uqaili berkata :”(Hadits itu tidak dikenal)”. Adapun mengadakan ma’tam (kumpulan orang dalam kesusahan, semacam haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu maka itu adalah perbuatan orang-orang yang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan RasulNya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari lahir atau wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain mereka” Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, Al-Hafidz Ibnu Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas) berkata : “Hadits-hadits tentang bercelak pada hari Asyura, berhias, bersenang-senang, berpesta dan sholat di hari ini dan fadhilah-fadhilah lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits puasa. Adapun selainnya adalah bathil seperti. “Artinya : Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”. Imam Ahmad berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”. Adapun hadits-hadits bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat oleh tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua goloangan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang dari As-Sunnah. Sedangkan Ahlus Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu yang diperintahkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan”. Adapun shalat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/29 berkata : “Maudhu’ (hadits palsu)”. Ucapan beliau ini diambil Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal.47. Hal senada juga diucapkan oleh Al-Iraqi dalam Tanzihus Syari’ah 2/89 dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’ah 2/122 Ibnu Rajab berkata (Latha’ful Ma’arif) : “Setiap riwayat yang menerangkan keutamaan bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari Asyura adalah maudlu (palsu) tidak sah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu. “Artinya : Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian”. Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain. Adapun hadits, “Artinya : Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya” Maka ulama seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu (palsu). Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204. Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7/379 dan Fadhail Auqat 246 dan Al-Hakim sebagaimana dinukil As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata : “Bercelak di hari Asyura tidak ada satu pun atsar/hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal ini adalah bid’ah yang dibuat oleh para pembunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu. Demikianlah sedikit pembahasan tentang hari Asyura. Semoga kita bisa meninggalkan bid’ah-bid’ahnya. Amin [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H-2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183] MUHARRAM (SURO) BULAN KERAMAT ? Oleh Ustadz Abu Nu’aim Al-Atsari Muharram (Suro) dalam kacamata masyarakat, khususnya Jawa, merupakan bulan keramat. Sehingga mereka tidak punya keberanian untuk menyelenggarkan suatu acara terutama hajatan dan pernikahan. Bila tidak di indahkan akan menimbulkan petaka dan kesengsaraan bagi mempelai berdua dalam mengarungi bahtera kehidupan. Hal ini diakui oleh seorang tokoh keraton Solo. Bahkan katanya : “Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di bulan Suro (Muharram), dan ternyata tertimpa musibah!”. Maka kita lihat, bulan ini sepi dari berbagai acara. Selain itu, untuk memperoleh kesalamatan diadakan berbagai kegiatan. Sebagian masyarakat mengadakan tirakatan pada malam satu Suro (Muharram), entah di tiap desa, atau tempat lain seperti puncak gunung. Sebagiannya lagi mengadakan sadranan, berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu di larung (dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala kerbau. Mungkin supaya sang ratu pantai selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu. Peristiwa seperti ini dapat disaksikan di pesisir pantai selatan seperti Tulungagung, Cilacap dan lainnya. Acara lain yang menyertai Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalah kirab kerbau bule yang terkenal dengan nama kyai slamet di keraton Kasunanan Solo. Peristiwa ini sangat dinantikan oleh warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang jauhpun rela berpayah-payah. Apa tujuannya ? Tiada lain, untuk ngalap berkah dari sang kerbau, supaya rizki lancar, dagangan laris dan sebagainya. Naudzubillahi min dzalik. Padahal kerbau merupakan symbol kebodohan, sehingga muncul peribahasa Jawa untuk menggambarkannya : “bodo ela-elo koyo kebo”. Acara lainnya adalah jamasan pusaka dan kirab (diarak) keliling keraton. Itulah sekelumit gambaran kepercayaan masyarakat khususnya Jawa terhadap bulan Muharram (Suro). Mungkin masih banyak lagi tradisi yang belum terekam disini. Kelihatannya tahayul ini diwarisi dari zaman sebelumnya mulai animisme, dinamisme, hindu dan budha. Ketika Islam datang keyakinan-keyakinan tersebut masih kental menyertai perkembangannya. Bahkan terjadi sinkretisasi (pencampuran). Ini bisa dicermati pada sejarah kerajaan-kerajaan Islam di awal pertumbuhan dan perkembangan selanjutya, hingga dewasa ini ternyata masih menyisakan pengaruh tersebut. Namun kepentingan kepada Muharram (Suro) ini tidak dimonopoli oleh suku atau bangsa tertentu. Syi’ah umpamanya, -mayoritas di Iran, meskipun di Indonesia sudah meruyak di berbagai sudut kota dan desa-, memiliki keyakinan tersendiri tentang Muharram (Suro). Terutama pada tanggal 10 Muharram, mereka mengadakan acara akbar untuk memperingati dan menuntut bela atas meninggalnya Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Seperti dikatakan oleh Musa Al-Musawi tokoh ulama mereka : “Belum pernah terjadi sepanjang sejarah adanya revolusi suci yang dikotori kaum Syi’ah dengan dalih mencintai Husain” Perbuatan buruk itu setiap tahun masih terus dilakukan kaum Syi’ah, terutama di Iran, Pakistan, India dan Nabtiyah di Libanon. Peritiwa ini sempat menimbulkan pertikaian berdarah anyara Syi’ah dan Ahlus Sunnah di beberapa daerah di Pakistan yang menelan korban ratusan jiwa yang tidak bersalah dari kedua belah pihak. [Lihat Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI hal. 85] Dikatakan pula : “Orang-orang Syi’ah setiap bulan Muharram memperingati gugurnya Imam Husain di Karbala tahun 61H, peringatan tersebut dilakukan dengan cara berlebih-lebihan. Dari tanggal 1 Muharram sampai 9 Muharram diadakan pawai besar-besaran di jalan-jalan menuju ke Al-Husainiyah. Peserta pawai hanya mengenakan sarung saja sedang badanya terbuka. Selama pawai mereka memukul-mukul dada dan punggungnya dengan rantai besi sehingga luka memar. Acara puncak dilakukan dengan melukai kepala terutama dahinya sehingga berlumuran darah. Darah yang mengalir ke kain putih yang dikenakan sehingga tampak sangat mencolok. Suasana seperti itu membuat mereka yang hadir merasa sedih, bahkan tidak sedikit yang menangis histeris. [Lihat Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI, hal. 51] Mengapa mereka begitu ekstrim ? Karena ziarah ke kuburan Al-Husain merupakan amalan yang mereka anggap paling mulia. Dalam kitab mereka semisal Furu’ul Kafi oleh Al-Kulani, Man La Yahdhuruhul Faqiihu oleh Ibnu Babawih dan kitab lainnya, diriwayatkan : “… Barangsiapa mendatangi kubur Al-Husain pada hari Arafah dengan mengakui haknya maka Allah akan menulis baginya seribu kali haji mabrur, seribu kali umrah mabrur dan seribu kali peperangan bersama Nabi yang diutus dan imam yang adil”. Dalam kitab Kamiluzaroot dan Bahirul Anwar disebutkan “ Ziarah kubur Al-Husain merupakan amalan yang paling mulia”, riwayat lainnya, “Termasuk amalan yang paling mulia adalah ziarah kubur Al-Husain”. Bahkan Karbala itu lebih mulia dibanding Makkah Al-Mukaramah. Karena Al-Husain dikuburkan di disana. [Lihat Ushul Madzhab Asy-Syiah Al-Imamiyah Al-Itsna Asyriyah Dr Nashir Al-Qifari, hal. 460-464]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari hal ini